Makna hijrah bukan sekadar upaya melepaskan diri dari cobaan dan cemoohan semata, tetapi disamping makna itu hijrah juga dimaksudkan sebagai batu loncatan untuk mendirikan sebuah masyarakat baru di negeri yang aman. Itulah mengapa Rasulullah mewajibkan seluruh muslim yang di Makkah pada saat itu untuk melakukan hijrah bagi yang tak berhalangan, agar ikut andil dalam usaha mendirikan masyarakat baru dalam rangka menggalang kekuatan dan mengerahkan segala kemampuan untuk menjaga dan menegakknya.
Sebagai pemimpin, Rasulullah telah mengantongi langkah-langkah perencanaan untuk memulai intensifikasi pembangunan masyakarakat.Maka dibangunlah sebuah masjid sebagai lokomotif pembangunan. Eksistensi substansi masjid bukanlah sesuatu yang di dasarkan kepada idealisme semata, yang hanya difungsikan sebagai tempat beribadah saja, tetapi memiliki multifungsi, di antaranya sebagai tempat jual beli, karena ini merupakan tuntutan realitas keadaan masyarakat waktu itu yang memerlukan struktur perkonomian yang baru, karena struktur perekonomian yang ada dikuasai dan dimonopoli sepenuhnya oleh orang–orang Yahudi dan diatur sepenuhnya oleh sistem kapitalis Yahudi.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, dipindahkanlah aktivitas jual beli dari lingkungan masjid demi menjaga kekhusyuan beribadah. Aktivitas jual beli ini difokuskan di pasar yang diberi nama “Suqul Anshar“ atau pasar Anshar. Pasar ini dibangun oleh Abdurrahman bin Auf, seorang hartawan yang kaya raya, atas arahan Rasulullah. Pasar ini dikelola seratus persen oleh umat Islam sendiri berlokasi tidak jauh dari pasar Yahudi.Semua orang Islam dihimbau untuk berjual beli dan melakukan semua aktivitas perdagangan di pasar itu tanpa bekerjasama sedikitpun dengan Yahudi dan tanpa terlibat dengan segala produk atau barang mereka.
Dari penjelasan di atas, nampak bahwa Rasulullah telah menerapkan pola bisnis dengan persaingan yang sehat, tanpa menggunakan wewenang kekuasaannya untuk menutup pasar Yahudi, mengingat kedudukan Rasulullah pada saat itu adalah seorang pemimpin, tapi justru Rasulullah sepenuhnya menyerahkan penilaiannya kepada masyarakat. Dan pada akhirnya ekonomi Yahudi yang sudah ratusan tahun, gulung tikar dan bangkrut bahkan mereka menjadi miskin dan akhirnya menutup pasar mereka.
Selain itu, ukhuwwah islamiyah, persaudaraan sesama muslim, antara golongan Muhajirin dan golongan Anshor sangat ditekankan oleh Rasulullah. Rasulullah sangat menyadari bahwa kebersamaan, kekeluargaan dan persaudaraan merupakan salah satu prasyarat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.Bukan hanya berfaedah bagi kekuatan secara politik saja, tetapi juga dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat.
Dari sini terlihat bahwa pemikiran ekonomi Rasulullah orientasi substanstifnya adalah ”kepada kepentingan bersama masyarakatlah yang diutamakan”. Bahkan untuk tercapainya arah dan tujuan dimaksud, Rasulullah sangat menekankan terciptanya ”efesiensi sosial”. Artinya bagaimana ekonomi negara bisa dikelola secara bersama dengan baik dan ketepat-gunaan yang tinggi sehingga kemakmuran dan kesejahteraan dalam arti yang sesungguhnya.
Oleh karena itu, prinsip sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam pandangan ekonomi Rasulullah adalah sangat dikedepankan.Implikasi dari pandangan ini adalah perintah Rasullah untuk saling tolong-menolong antar sesama dalam segala aktivitas kehidupan, terutama dalam tatanan ekonomi. Hak warisan harta ditinggalkan atas dasar saudara seagama, tanah kepunyaan Ansar digarap bersama sama dengan Muhajirin.
Sehingga pada saat itu, dengan sistem al-Muzara’ah, al-Mu’ajarah, yang diterapkan di atas prinsip at-ta’awun, Madinah menjadi kaya dengan produksi dari hasil tanaman gandum, sayur-sayuran, buah-buahan dan juga barli. Tidak hanya itu, kota ini juga adalah pengeluar terbesar buah kurma atau tamar terutama menjelang musim kemarau. Daripada penghasilan ini saja, kota Madinah dapat memainkan peranan penting dalam perekonomian di kawasan sekitarnya.
Inilah makna efisiensi sosial atau ”efisiensi berkadilan”, karena memang dalam pandangan Rasulullah manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial, itulah yang harus diutamakan, bukanlah pembangunan dan pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Pandangan ini sudah barang tentu berangkat dari nilai-nilai qur’ani yang menghormati sesama manusia dan menekankan masalah ukhuwah/ persaudaraan (Qs. Al-Hujarat : 10), ta’awun/ tolong menolong/ kebersamaan (Qs. Al-Maidah : 3).
Di samping itu, kebijaksanaan Rasulullah dalam bidang ekonomi juga terlihat ketika Rasulullah tidak serta merta membebankan, ushr,27dan jizyah bagi non-muslim pada saat pondasi masyarakat belum begitu kokoh. Tapi ketika masyarakat Madinah memiliki pondasi yang kuat dan menampakkan embrio kekuatan, baik di bidang politik maupun ekonomi, barulah Rasulullah merancang sistem pemerintahan yang ditandai dengan disepakatinya Piagam Madinah.
Dengan terbentuknya negara Madinah, Islam semakin kuat, dan perkembangannya yang pesat membuat orang-orang Makkah merasa Risau. Kerisauan ini akan mendorong orang Quraisy bertindak apa saja. Di satu sisi, Madinah hampir tidak memiliki pemasukan atau pendapatan negara. Untuk menghadapi kemungkinan itu, maka Rasulullah menggalang kekuatan berupa pembentukan militer dan juga menganjurkan zakat yang sifatnya sukarela dalam rangka membantu mempertahankan diri dari serangan musuh.
Pada tahun ketujuh Hijriyah, kaum muslimin berhasil menaklukan Khaibar.Tanah hasil taklukan dikelola dengan menerapkan sistem kharaj, yakni pajak tanah yang dipungut dari non-Muslim.Dan sistem ini diterapkan di berbagai daerah taklukan, dan dalam perkembangannya, kharaj menjadi salah satu sumber pendapatan negara terpenting.
Dalam masa pemerintahannya juga, Rasulullah menerapkan jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non-Muslim, khususnya ahli kitab, sebagai perlindungan jiwa, harta milik, kebebesan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer.
Tidak ada komentar